Oleh
: Harliansyah, SH.
Peniliti
Hukum Tata Negara Borneo Law Firm
USAI sudah gelaran pilkada serentak gelombang
kedua pada 15 Februari 2017 di 101 daerah dari tingkat provinsi, kabupaten, dan
kota. pilkada
tersebut terdiri atas 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota. Dari 76 kabupaten,
di provinsi kalteng 2 kabupaten yang terlibat dalam kompetisi ini yakni
Kabupaten Barito Selatan (BARSEL) dan Kabupaten Kota Waringin Barat (KOBAR)
Periode 2017-2022. Bupati terpilih Kabupaten Barsel, H Eddy Raya Samsuri dan Satya Titiek Atyanie Djudir dan Bupati
terpilih Kabupaten Kobar, Hj Nurhidayah
dan Ahmadi Riansyah.
Dua pasangan Bupati yakni Bupati Barsel dan Kobar , Senin (22/6/2017) resmi dikukuhan oleh Gubernur Kalteng, H Sugianto Sabran. Doc. Tribunkalteng.co/Fathurahman.
Jika ditilik dari sudut pandang demokrasi,
pemilihan kepala daerah secara langsung masih dipandang sebagai salah satu instrument terbaik dalam memilih pemimpin
pemerintah daerah, disamping sebagai sarana meningkatkan kesadaran dan partisipasi
politik masyarakat lokal sekaligus memperluas akses untuk memengaruhi proses
pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat. Seperti yang dikatakan
oleh Profesor Mirriam Budiardjo memaparkan bahwa pemilu yang bebas menjadi ciri
Demokrasi konstutusional. Diharapkan
dari proses ini dihasilkan pemimpin lokal yang memiliki basis legitimasi,
demokrasi, dan respresentatif bagi konstituante yang dipimpinnya.
Senin 22 Mei 2017 merupakan hari bersejarah
bagi pasangan Bupati terpilih Kabupaten BARSEL, H Eddy Raya Samsuri dan Satya
Titiek Atyanie Djudir serta Bupati terpilih Kabupaten KOBAR,
Hj Nurhidayah dan Ahmadi Riansyah yang telah resmi dilantik oleh
Gubernur Kalimantang Tengah, H Sugianto Sabran.
Pengambilan sumpah/Janji dan Pelantikan kepala
daerah tentu tidak boleh dimaknai sebatas seremoni
saja. Kehadiran para pemimpin baru daerah itu diharapkan dapat mendatangkan
perubahan besar bagi daerah masing-masing. Karena itu, setelah dilantik, para
kepala daerah dituntut untuk mampu menghadapi sejumlah tantangan. Setidaknya Empat tantangan baru berupa produk
Legislasi Undang-Undang telah menunggu para kepala daerah terpilih.
PERTAMA, terkait dengan implementasi Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur berbagai aspek,
mulai dari penetapan dan pembagian urusan pemerintahan, keungan daerah,
perangkat daerah, kebijkan daerah, hingga pembinaan dan pengawasan pemerintahan
daerah. UU ini adalah pijakan awal menjalankan kewenangan bagi para kepala
daerah, apakah itu kewenangan atrubutif, delegatif, ataupun mandat.
Seturut dengan hal tersebut Seorang kepala
daerah dituntut untuk jeli menentukan strategi prioritas, mana yang menjadi
kebutuhan mendasar bagi daerah. Misalnya memprioritaskan pelaksanaan
pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan,
kesehatan, pekerjaan umum, dan ketertiban umum. Atau justru memprioritaskan
yang lain. Jika salah menentukan prioritas, pembangunan daerah akan sulit
terlaksana dengan baik.
Terlebih Dalam janji kampanye pasangan H Eddy Raya Samsuri dan Satya Titiek
Atyanie Djudir (ERAT) ingin mewujudkan Barsel yang maju dan mandiri, membangun
Barsel dan merapikan Kota Buntok dan Kecamatan agar setara dengan 12 kabupaten
dan kota di Kalteng serta menginginkan masyarakat yang cerdas dan madani. Selain
itu pasangan ERAT ini juga akan
mengusung program unggulan bidang kesehatan dan listrik, serta menyediakan
lapangan pekerjaan untuk mengurangi pengangguran.
Bukan hal yang mudah bagi Pasangan dengan Take line ERAT MERAKYAT ini untuk mewujudkan visi dan misi, janji kampanye
dan program kerja tersebut. Semua itu harus konkrit dan tepat sasaran sesuai
dengan potensi dan karakteristik daerah yang dituangkan dalam Rancangan
Peraturan Daerah (Raperda) Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dengan berpedoman
dengan rancangan pembangunan jangka menengah (RPJM) nasional yang paling lambat
lima bulan setelah dilantik sudah tersusun rapi.
KEDUA, dalam kerangka menjalankan fungsi
pemerintahan, lahirnya perbuatan administrasi Negara dalam bentuk keputusan
dan/atau tindakan administrasi Negara merupakan keniscayaan bagi kepala daerah.
Lingkup keputusan dan tindakan itu saat ini berbeda dalam ranah pengaturan UU
No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, yang mewajibkan setiap
keputusan dan tindakan administrasi Negara harus memiliki dasar hukum (prinsip
legalitas) dan sesuai asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Seperti
kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan, pelayanan yang baik,
keterbukaan, kepentingan umum, serta tidak menyalahgunakan wewenang. Setiap keputusan
dan tindakan yang tidak sah disertai dengan pemberian sanksi administratif yang
yang berujung pada pemberhentian dari jabatan.
Dengan demikian, para kepala daerah selaku
pejabat administrasi pemerintahan juga beresiko dari ancaman sanksi administratif,
termasuk pemberhentian apabila keputusan dan tindakan administrasi Negara yang dilakukan
telah melanggar UU No. 30/2014 tersebut. Sudah sepatutnya hal ini menjadi
perhatian kepala daerah terpilih untuk lebih mengedepankan prinsip
kehati-hatian dan kecermatan dalam setiap pengambilan keputusan mengingat
ancaman petaka bagi kehormatan jabatan.
KETIGA, adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara, Seperti dikatakan Fery Chofa (2015), UU tersebut
kini telah mengubah mindset penyelenggaraan kebijakan dan manajemen kepegawaian
serta birokrasi harus berbasis sistem meritokrasi.
Penerapan sistem meritokrasi mengharuskan
penempatan dan pengangkatan pegawai dalam satu jabatan berdasar hasil uji
kompetensi dengan proses kompetisi yang terbuka. Di sinilah tantangan bagi
pasangan ERAT diuji. Apakah dia akan
mengangkat pejabat/pegawai di lingkungan daerah hanya berdasar subjektifitas,
kedekatan, hubungan kekerabatan, serta balas jasa atapun titipan. Atau
sebaliknya, mengangkat pejabat/pegawai berdasar sistem meritokrasi. Sebab,
fakta di lapangan menunjukkan bahwa faktor kedekatan ataupun patron- klien lebih
dominan dalam pengangkatan pegawai di lingkungan daerah ke timbang faktor kompetensi.
Sehingga akan menimbulkan konsekuensi pejabat bersangkutan dapat dibatalkan
oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) selaku pengawas penerapan sistem meritokrasi
ini.
KEEMPAT, terkait dengan implementasi Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. UU Desa di rancang, salah satunya, untuk
mengatur keuangan desa yang diwujudkan dalam bentuk dana desa. Namun, muncul
kekhawatiran bahwa hadirnya dana desa justru mendatangkan pragmatisme di
tingkat pemerintahan desa yang kemudian mengarah ke hilangnya kreativitas dalam
menggali sumber daya lokal. Sebab, dana desa yang seharusnya dimanfaatkan untuk
meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat desa kini terlihat belum
digunakan secara optimal untuk menggali sumber pendapatan baru.
Misalnya melalui investasi produktif yang
dijalankan oleh masyarakat. Di sinilah kepala daerah terpilih memiliki tugas
untuk mengawal. Sekaligus memberikan pengarahan terhadap pemerintahan desa
supaya dana desa dapat dimanfaatkan secara optimal.
Karena itu, setelah dilantik, kini tidak ada
lagi waktu untuk berlehaleha bagi pasangan ERAT.
Mereka harus tancap gas menjawab berbagai tantangan dan persoalan di Kabupaten Dahani Dahanai Tuntung Tulus ini.
Dibagian penutup penulis mengutip apa yang
dikatakan oleh Robert Endi Jaweng (2016), “kepala daerah memasuki apa yang
disebut black box, yakni visi, misi,
program, hingga janji kampanye berkonversi ke dalam aksi lapangan. Ada tuntutan
bahwa kerja-kerja kepala daerah di era kepemimpinan kekinian harus lebih
membumi”. Pasangan ERAT jangan hanya
bekerja dibelakang meja, tetapi mesti turun lengsung kelalapangan, mengurai
persoalan masyarakatnya.